Tugas Makalah Pendidikan Agama Islam
ETIKA, MORAL, dan AKHLAK

Oleh :
Aldo Sapriansyah (09011181520035)
Ghiena RifkaUtami (09011181520121)
Nadya Rahma (90029309090909)
Mega Tri Wahyuni (09011181520039)
JURUSAN SISTEM KOMPUTER
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015/2016
BAB I
Pendahuluan
- Latar BelakangMoral seseorang pada zaman sekarang ini cenderung buruk. Tidak hanya anak muda maupun orang dewasa, perilaku yang sudah jauh melenceng dari yang seharusnya. Di mana seorang anak yang masih muda seharusnya memiliki rasa hormat atau segan terhadap orang yang lebih tua darinya. Sedangkan, orang dewasa yang memiliki rasa sombong karena merasa lebih mengetahui segalanya, kadang-kadang mempunyai tingkah laku kekanak-kanakan, dan tidak memiliki rasa malu terhadap hal buruk yang sudah dilakukannya.Dalam hal ini kita harus memperbaiki pola tingkah laku dan cara hidup yang kita gunakan. Menjalankannnya berdasarkan pedoman hukum atau undang-undang dan kepercayaan yang diyakini, pedoman yang mengarahkan kita memiliki pola tingkah laku baik. Lingkungan masyarakat seharusnya ikut andil dalam melestarikan perilaku akhlak yang mulia.Islam menjelaskan bagaimana ciri orang tersebut termasuk mulia atau tidak. Islam juga menjelaskan bagaimana meningkatkan atau menjaga akhlak kita tetap mulia. Islam sebagaimana agama yang membawa rahmat kepada semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) semestinya mempunyai kebijakan dan kearifan yang bisa digali dari sumbernya yaitu : Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Tujuan
- Mengetahui pengertian etika, moral, dan akhlak
- Mengetahui perbedaan etika, moral, dan akhlak
- Menjelaskan kedudukan akhlak dalam Islam
- Menjelaskan hubungan akhlak dan tasawuf
- Memberitahukan metode peningkatan dan perubahan akhlak
- Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari etika, moral, dan akhlak?
- Apa perbedaan etika, moral, dan akhlak?
- Apa saja ciri-ciri orang yang berakhlak baik ataupun buruk?
- Bagaimana cara meningkatkan akhlak?
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Akhlak, Etika, dan Moral
Akhlak secara bahasa berasal dari kata “khalaqa” (huluqum) berarti perangai, tabiat, adat, atau juga “khalqun” yang berarti kejadian, buatan, atau ciptaan. Jadi secara etimologi, akhlak itu searti dengan budi pekerti, watak, tabiat, atau system perilaku.
Akhlak secara kebahasaan bisa baik atau buruk bergantung pada tata nilai yang di pakai sebagai landasan utamanya, meskipun secara sosiologis di Indonesia kata “akhlak” sudah mengandung konotasi baik. Dalam kamus umum bahasa Indonesia akhlak berarti kelakuan, tabiat, tingkah laku. Jadi “orang yang berakhlak“, berarti orang yang berperilaku positif”.
Dalam surat Al-Qalam (68) ayat 4, dijelaskan :
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad SAW) benar-benar berbudi pekerti
yang agung”.
Selain itu surat Asy-Syuaraa’ (26) ayat 137 :
Artinya : “(agama
kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”.
Akhlak atau
system perilaku ini terjadi melalui suatu konsep atau seperangkat pengertian
tentang apa dan bagaimana sebaiknya budi pekerti itu harus terwujud. Konsep
atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu
seharusnya disusun oleh manusia dalam system idenya. Sedang system ide ini
lahir karena adanya dari hasil proses penjabaran dari kaidah-kaidah yang di hayati
dan di rumuskan sebelumnya.
Baik Ibn Maskawaih dalam
kitabnya “Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq” maupun Al-Ghazali dalam kitabnya “
Ihya‘ Ulum al-Din’’ menyatakan bahwa akhlak adalah kemampuan jiwa untuk
melahirkan suatu perbuatan spontan, tanpa pemikiran, atau paksaan. Dengan kata
lain, akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa
perbuatan baik atau buruk.
Hakekat akhlak yang berdasarkan tauhid atau akhlaq al-karimah ialah
perbuatan baik (ihsan), yang di mana pun seseorang berada sebagaimana yang di
formulasikan Nabi Muhammad SAW :
“Berbuat baik berarti engkau patuh kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya. Jika engkau
merasa tidak melihat-Nya, tetapi sesungguhnya Allah senantiasa melihat engkau”.
Bagi yang imannya kuat, berbuat baik (ihsan)
itu merupakan (kepribadian)-nya, yang
tidak dapat diganggu gugat sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad SAW:
“Seseorang tidak akan berbuat zina, walaupun ia punya kesempatan
untuk melakukannya selama ia beriman“.
Dengan demikian,
akhlak itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai
yang baik, yang harusnya berlaku dalam kehidupan masyarakat, dan norma – norma
atau nilai- nilai yang buruk seharusnya tidak berlaku di kehidupan masyarakat.
Di dalam Alquran, istilah apa yang baik disebut ma’ruf atau ma’rufat, dan
istilah apa yang buruk disebut dengan “mungkar” atau “munkarat”. Pemakaian
istilah ma’ruf atau ma’rufat untuk yang baik, dan “munkar” atau “munkarat”
untuk yang buruk dalam Alquran,
mempunyai arti bahwa yang baik sebenarnya telah di kenal sejak kehadirannya
dalam kehidupan ini, sedangkan sesuatu yang buruk sejak kehadirannya merupakan
sesuatu yang di benci dan ditolak oleh masyarakat. Nilai- nilai akhlak ini ada
dan akan tetap ada, selama manusia ingin hidup dalam kerentraman dan kedamaian.
Etika bersal
dari bahasa Yunani “ethos” berarti
watak atau adat. Dari segi etimologi, etika berarti watak kesusilaan atau adat.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu yang berkenaan tentang
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Dari pengertian kebahasaan ini terlihat jelas bahwa etika
berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti
etika dari segi istilah yang telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya.
Menurut para ulama, etika berarti ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat. Frankena menjelaskan bahwa tika sebagai cabang filsafat
yaitu filsafat moral dan pertimbangan moral atau pemikiran kefilsafatan tentang
moralitas dan problem moral dan pertimbangan moral (Iberani, 2003-113)
Berikutnya,
dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu
studi yang sitematik dan mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik,
buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Moral berasal dari
kata latin “mos” dan “mores” (bentuk jamaknya) yang berarti
adat atau cara hidup. Moral adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide
umum (masyarakat) yang baik dan wajar. Pengertian moral secara luas yaitu sesuatu yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak,
pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar ataupun salah,
baik ataupun buruk dalam aktivitas kehidupan manusia. Dalam kehidupan
sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai tingkah laku yang baik sebagai
orang yang bermoral. Berikut mengenai hadits yang terkait mengenai moral :
“ Sesungguhnya seseorang yang berbicara dengan
perkataan yang diridhai Allah dia tidak akan mendapatkan apa-apa akan tetapi
allah akan mengangkat derajatnya. Dan barang siapa yang berbicara dengan
perkataan yang dimurkai allah dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali akan
jatuh ke neraka jahannam.”
Jadi
pada hakikatnya moral adalah proses pembelajaran yang mengajarkan tentang cara
berbicara, bersikap, dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma, agama yang
berlaku dalam kehidupan manusia.
B. Perbedaan Akhlak, Etika, dan Moral
Etika bersal dari bahasa Yunani “ethos” berarti watak atau adat dan asal kata moral yang sama artinya dengan kata etika dari bahasa latin “mos” dan “mores” (jamaknya) yang berarti juga adat dan cara hidup. Disini dapat di lihat, bahwa kedua perkataan tersebut menunjukan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktik sekelompok manusia. Jadi etik dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaiannya ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang dinilai, sedangkan etik di pakai untuk pengkajian system nilai atau kode orang menyebut “perbuatan yang bermoral/tidak bermoral“ atau orang mengatakan “system nilai–nilai, norma–norma etik“ atau “kode etik”. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang menggunakan system etika ini pada waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan nilai tata cara hidup tertentu dan pada waktu serta tempat yang lain yang tidak menerimanya. Umpamanya hidup bersama masyarakat bebas seperti di dunia barat (permissive society), yang menurut tata nilai akhlaqul karimah tidak bisa di benarkan. Jelas tampak kepada kita, bahwa system etika dapat bersifat bebas nilai dan (value free) khususnya nilai sacral dan oleh karena itu system etika seperti ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hablum minallah. Ukuran baik dan buruknya dalam system etika ini sangat subjektif dan bergantung pada pengaruh yang kuat dari para pemikir yang beragam.
Secara etimologis, kata
akhlak yang berasal
dari bahasa Arab khuluq, berarti : perbuatan atau tingkah laku. Kata khuluq
berkonotasi dengan khaliq (pencipta) dan makhluk yang di ciptakan, sehingga
tuntutan berakhlak harus didasarkan
pada norma khaliq serta kepentingan makhluk.
Dalam arti teknis
akhlak sama dengan etika (etos) atau moral (mores), seperti
ungkapan akhlak Islam adalah sama dengan etika Islam atau moral Islam. Memang akhlak (etika) Islam berbeda dengan akhlak (etika) non Islam,
karena akhlak Islam adalah produk dari keyakinan Muslim atas kemahaesaan Allah
dengan segala konsequensinya, yaitu Tauhid
.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa akhlak berbeda dengan etika dan moral. Berdasarkan perbedaan sumber ini maka etika dan moral senantiasa bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai dengan perkembangan kondisi, situasi dan tuntutan manusia. Etika sebagai aturan baik dan buruk yang ditentukan oleh akal pikiran manusia bertujuan untuk menciptakan keharmonisan. Begitu juga moral sebagai aturan baik buruk yang didasarkan kepada tradisi, adat budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat juga bertujuan untuk terciptanya keselarasan hidup manusia. Kalau akhlak lebih bersifat transcendental karena berasal dan bersumber dari Allah.
Etika, moral, dan akhlak merupakan salah satu cara untuk menciptakan keharmonisan dalam hubungan antara sesama manusia (habl minannas) dan hubungan vertikal dengan khaliq (habl minallah)
C. Kedudukan Akhlak dalam Islam
Dalam Islam dikenal adanya dua kerangka dasar ajaran Islam yang meliputi aspek aqidah dan syari`ah. Pendapat yang demikian antara lain dikemukakan oleh Mahmud Syaltout. Dalam pandangannya, akhlak adalah salah satu bagian dari aspek syari`ah. Sebutan yang dipakai untuk menunjuk akhlak sebagai bagian dari syari`ah adalah al fiqh al-khuluqiyah. Di lain pihak para ulama secara langsung menempatkan akhlak sebagai bagian yang berdiri sendiri. Mengikuti pendapat yang kedua, maka kerangka dasar Islam meliputi aqidah, syari`ah, dan akhlak. Sekalipun ada penempatan yang berbeda terhadap posisi akhlak, namun keduanya sepakat bahwa akhlak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka dasar ajaran Islam. Menurut Hasbi Ash-Shiddique bahwa di antara tiga aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (Ajat Sudrajat, 1995:79).
Adanya penegasan yang demikian mengisyaratkan karena sering terjadinya kekeliruan dalam diri umat Islam ketika melihat tiga aspek tersebut. Ada yang memahami bahwa tiga aspek yang meliputi aqidah, syari`ah, dan akhlak, masing-masing berdiri sendiri. Karena posisi akhlak merupakan satu kesatuan utuh dari ajaran Islam, maka akhlak dalam Islam mendasarkan ajaran-ajarannya tentang baik dan buruk, benar dan salah, bersumberkan kepada ajaran Allah. Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Diyakini sepenuhnya bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Allah akan menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya adalah buruk. Oleh karena itu, menurut Quraish Shihab (1996:261) akhlak dalam agama Islam tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, jika pengertiannya hanya semata menunjuk kepada sopan santun di antara manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriyah. Akhlak dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, yang mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah. Akhak Islam berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak Islam juga memiliki cakupan yang lebih luas, karena tidak semata mengatur hubungan manusia dengan manusia. Akhal Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah hingga hubungan manusia dengan sesama makhluk lainnya (manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa lainnya).
D. Tolok Ukur Akhlak Baik dan Buruk
Tolok
ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk
kepada ketentuan Allah. Mempersoalkan baik dan buruk pada perbuatan
manusia maka ukuran karakternya selalu dinamis dan sulit dipecahkan. Namun
karakter baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur menurut fitrah manusia.
Kenyataan yang ada dalam kehidupan, bahwa ada beda pendapat yang dalam melihat
baik dan buruk, tapi pada suatu ssaat dia melihatnya itu baik dan sebaliknya.
Manusia dapat terpengaruh oleh adat istiadaat
golongan dan bangsanya. Mereka melakukan suatu perbuatan dan menjauhi perbuatan
lainnya. Kekuatan member hokum kepada sesuatu belum tumbuh begitu rupa,
sehingga ia mengikuti kebanyakan perbuatan yang mereka lakukan.
E. Ciri-Ciri Orang yang Berakhlak Mulia
Seseorang dapat
dikatakan berakhlak mulia jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna (surah Al-Mu’minun : 3);
2. Istiqamah (surah Al-Imran : 139);
3. Jujur (surah Al-Baqarah : 177);
4. Pemaaf (surah Al-Baqarah : 237, 263);
5. Sabar (surah Al-Baqarah : 45, 153, 155, 156, 157, 177, 214, 249);
6. Berjalan di muka bumi dengan tawadhu tidak sombong dan angkuh (surah Al-Hijr : 88);
7. Mensyukuri nikmat (surah Al-Baqarah : 40, 47, 122, 231);
8. Mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri (surah Al-Fath : 29);
9. Menghormati tamu dan selalu menghargai tetangga (surah Al-Baqarah 177, 215);
10. Berbicara selalu baik, santun dan penuh makna (surah Al-Baqarah : 83, 263);
11. Tidak banyak bicara dan bersikap tenang dalam menghadapi segala persoalan (surah Ar-Rad : 28);
12. Kebersihan (surah Al-Mudassir : 1-4).
Sedangkan ciri-ciri orang berakhlak yang
lainnya adalah: selalu rida kepada Allah, cinta dan beriman rukun iman yang
enam, taat beribadah, selalu menepati janji, amanah, sopan dalam ucapan dan
perbuatan, qanaah, tawakal, sabar, syukur, dan tawadhu. (Anwar, 2008) Ada dua
model akhlak, yaitu akhlak terpuji dan akhlak buruk.
Sejumlah ciri di atas adalah
karakteristik akhlak karimah (mulia) atau terpuji (mahmudah). Hal ini
dijelaskan dalam surah At-Taubah (71) :
Artinya
:”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Orang yang memiliki akhlak terpuji maka
sikap, pikiran dan prilakunya selalu berorientasi pada kebaikan, kejujuran,
kesetiaan, dan sesuatu yang dianggap positif secara agama, norma dan akal
pikiran.
Sikap-sikap emosional positif seperti
saling membantu, menghargai, rajin, giat, optimis, terbuka, pemberani, bersih,
sehat, loyal, bervisi ke depan, sabar, bijaksana, peduli, toleran, dermawan,
pemurah, dan adil adalah cerminan dari jiwa yang berakhlak karimah.
Sedangkan sebaliknya, sikap atau prilaku
yang berorientasi pada zalim (surah Al-Kahfi : 57), takabur (surah An-Nahl :
20), angkuh (surah An-Anfal : 47), boros (surah Al-Isra’ : 26), membunuh (surah
Al-Isra’: 33), berkhianat (surah Yusuf : 52) sombong (surah Al-Isra’ : 37), bohong
(surah Al-Baqarah : 10), dan marah (surah Al-Imran : 133, 134) adalah pribadi
yang dianggap memiliki akhlak mazmumah (tercela).
F. Hubungan Akhlak dan Tasawuf
Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan
dengan cara mencucikan hati (tasfiat al Qalb). Menurut Zun Nun al-Misri
salah seorang sufi terkenal, bahwa hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan
Tuhan tetapi bahkan bisa mengenal dan melihat Tuhan (al Ma’rifah).
Pengetahuan manusia itu terbagi tiga, yaitu;
pengetahuan orang awam yang mengenal Allah hanya dengan cara mengucap dua
kalimat Syahadat, pengetahuan ulama, yaitu mengenal Allah dengan menggunakan
akal pikirannya (ra’yu), dan pengetahuan orang sufi, dimana mengenal dan
mendekati Allah dengan menggunakan hati sanubarinya yang terdalam (Basyirah).
Dalam konteks inilah dapat dipahami bahwa
antara akhlak dan tasawuf memiliki hubungan yang erat dan saling mendukung.
Artinya, bahwa akhlak yang baik, terpuji (mahmudah) dan mulia (karimah)
bukanlah didasari oleh ucapan dan akal pikiran semata, tetapi melainkan oleh
bisikan dan kilauan hati sanubari yang terdalam. Manusia yang berakhlak adalah
manusia yang suci dan sehat hatinya. Sebaliknya,
manusia yang tidak berakhlak adalah manusia yang kotor dan sakit hatinya.
Dalam hidup dan kehidupan ini, banyak orang
mengetahui dan menyadari bila hatinya kotor dan sakit, akan tetapi tidak
berhasrat membersih dan mengobatinya dengan segera. Berbeda dengan kotor dan sakit fisik, maka
dengan segera mengobati dan membersihkannya.
Padahal kalau disadari bahwa penyakit hati itu
jauh lebih berbahaya bagi diri dan kelangsungan hidupnya, maka pasti akan
memprioritaskan pengobatan hati di banding dengan pengobatan jasad atau fisik
yang hanya bersifat fana.
Seseorang yang mengalami sakit dalam arti
fisik, kalau tidak segera diobati maka akan bertambah parah dan akan mati. Mati
bukanlah akhir dari segalanya, tetapi merupakan pintu dari kehidupan
selanjutnya.
Berbeda dengan orang yang mengalami penyakit
hati, kalau tidak dibersihkan dan diobati, maka malapetaka yang diakibatkannya
bukan hanya di dunia, tetapi bahkan sampai hari akhirat yang abadi. Oleh karena
itu upaya untuk membersihkan, memelihara, mencegah dan mengobati agar hati
tetap senantiasa sehat, bersih dalam arti berakhlak mulia senantiasa merupakan
suatu keniscayaan yang prioritas. Al-Qur’an dan al-hadis sangat menekankan
kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong
menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar,
pemurah, ramah tamah, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji,
disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus.
Sejumlah nilai-nilai positif tersebut adalah
amalan tasawuf yang harus dimiliki oleh orang yang berakhlak.
G. Metode Perubahan dan Peningkatan Akhlak
Perubahan dan peningkatan akhlaq akan dapat terjadi sepanjang hal itu diusahakan melalui latihan moral yang sesuai. Menurut al-Ghazali fungsi akal dan syariah adalah sebagai penuntun. Jika akhlaq tidak bisa diubah, maka semua perintah dan teguran, anjuran dan ancaman agama tidak akan berguna. Rasulullah berkata:
"Jadikanlah akhlaq kamu indah".
Perubahan akhlaq ini intinya terletak pada usaha pengendalian hawa nafsu sehingga menjadi seimbang, dan pengalaman membuktikan bahwa hal tersebut dapat terjadi dengan jalan latihan moral. Meskipun disadari bahwa kecepatan perubahan itu tidak sama pada setiap orang. (M. Abul Quasem, 1988: 92).
1. Empat Tingkatan Manusia
Perbedaan kecepatan perubahan akhlaq bergantung kepada
keadaan seseorang. Dalam hal ini al-Ghazali membuat klasifikasi manusia pada
empat tingkat:
Pertama, tingkatan orang-orang yang
lengah (al-insan al-ghufl). Kelompok orang-orang ini tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang palsu, atau antara yang baik dan jahat.
Akhlaq orang yang seperti ini mungkin bisa berubah dalam waktu yang singkat.
Kelompok ini oleh al-Ghazali disebut orang-orang yang bodoh (jahil).
Kedua, tingakatan orang yang tahu
betul mana yang baik dan buruk. Mereka mengetahui perbuatan yang buruk, tetapi
tidak berusaha menjauhkan diri dari perbuatan tersebut, karena merasa bahwa
perbuatan itu nikmat. Perbaikan tabiat kelompok ini lebih sukar, tetapi masih
mungkin untuk diperbaiki dengan upaya yang keras. Kelompok ini oleh al-Ghazali
disebut orang-orang yang bodoh dan sesat (dhall).
Ketiga, tingkatan orang yang
memiliki tabiat buruk. Kelompok ini menuruti perbuatan yang tercela dengan
sepenuh hati. Orang-orang seperti ini hampir tidak mungkin disembuhkan, dan
tidak ada harapan memperbaikinya. Kelompok ini oleh al-Ghazali disebut orang-orang
yang bodoh, sesat, dan jahat (fasiq).
Keempat, selain memiliki tabiat
buruk, kelompok ini sudah merasakan kenikmatan yang sedemikian rupa dengan
keburukannya, sehingga berlombalah untuk berbuat keburukan. Ajaib sekali kalau
dapat mengubah akhlaq orang-orang seperti ini. Kelompok ini oleh al-Ghazali
disebut orang-orang yang bodoh, sesat, jahat, dan keji (syarir). (M.
Abul Quasem, 1988: 92).
2. Tiga Metode Mengubah Akhlaq yang Baik
Setelah menegaskan bahwa akhlaq bisa diubah, al-Ghazali
menyarankan cara-cara untuk melakukannya. Al-Ghazali menyebutkan adanya tiga
metode untuk mendapatkan akhlaq yang baik:
Pertama, karena mendapatkan rahmat
dari Allah. Beberapa orang memiliki akhlaq yang baik secara alamiah (bi
al-thab' wa al-fithrah) karena diberikan Allah kepada mereka. Mereka
diciptakan dengan semua pembawaan jiwa mereka dalam keadaan seimbang, dan
pembawaan nafsu dan amarah mematuhi perintah akal dan syariah, sehingga mereka
adalah baik secara alamiah. Contoh untuk kasus ini adalah para nabi.
Kedua, dengan metode mujahadah (menahan
diri) dan riyadhah (melatih diri). Metode ini merupakan cara yang paling
umum, yakni dengan berusaha keras melakukan dan membiasakan (i'tiyad) amal
perbuatan yang bersumberkan akhlaq yang baik, sehingga menjadi kebiasaan
(i'tiyad) dan sesuatu yang menyenangkan. Harus ada ketekunan yang tetap dalam
amal perbuatan yang disengaja, sebab kalau tidak, tidak ada sifat yang
dihasilkannya di dalam jiwa. Hal ini didasarkan pada teori relasi melingkar
antara jiwa dan jasad, dan juga mengenai teorinya tentang sifat dasar jiwa
manusia.
Ketiga, dengan metode peniruan (taqlid).
Akhlaq yang baik dapat diperoleh dengan memperhatikan orang-orang yang baik dan
bergaul dengan mereka. Menurut al-Ghazali, secara alamiah manusia adalah
peniru, tabiat seseorang tanpa sadar bisa mendapat mendapatkan kebaikan dan
keburukan dari tabiat orang lain. Peniruan ini bisa dilakukan baik langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu sangat baik apabila seseorang mau
membaca riwayat hidup orang-orang yang mulia, seperti para nabi dan sahabatnya.
(M. Abul Quasem, 1988: 93-94).
3. Empat Metode Mengubah Akhlaq Buruk
Seseorang yang mencapai akhlaq yang baik dengan ketiga cara
di atas (secara alamiah, dengan kebiasaan, dan melalui pergaulan) memiliki
akhlaq yang luhur. Metode taufik illahi, pembiasaan, dan pergaulan juga
sekaligus tergolong pada cara-cara mengubah akhlaq yang buruk dari jiwa.
Langkah pertama untuk memperbaiki akhlaq yang buruk adalah
kesadaran seseorng akan perangai buruk yang ada dalam dirinya. Al-Ghazali
menyarankan adanya empat metode untuk melakukan perubahan tersebut:
Pertama, dengan menjadi murid seorang
guru spiritual (syaikh). Guru ini akan memperhatikan dengan seksama dan
menyatakan kekurangan-kekuarangan yang ada dalam diri si murid.
Kedua, minta bantuan seorang teman
yang tulus, taat, dan punya pengertian. Teman ini diminta mengamati keadaan dan
kondisi orang tersebut dengan teliti dan mengatakan kepadanya tentang
kekurangan-kekurangan dirinya.
Ketiga, memanfaatkan kritik orang
lain atau orang yang tidak senang dengan kita. Orang yang tidak senang pada
kita, umumnya akan sangat kritis dan teliti melihat semua kekurangan atau
keburukan yang ada pada kita. Keempat, bergaul dengan orang lain dan
memisahkan kekurangan-kekurangan yang dilihat pada mereka bagaikan kekuarangan
itu ada pada kita. Karena, menurut al-Ghazali, pada dasarnya manusia memiliki
kesamaan dalam hal menuruti hawa nafsu. (M. Abul Quasem, 1988: 95-96).
Jika seseorang menyadari ada penyakit jiwa pada dirinya, maka
harus secepatnya pergi ke seorang guru yang akan menuntun penyembuhannya, sama
seperti mencari pertolongan dokter untuk menyembuhkan penyakit jasmaniyah.
Kalau tidak pergi ke dokter, ia pun dapat membeli obat yang sudah tersedia di
apotek, artinya seseorang yang terkena penyakit jiwa, ia dapat memanfaatkan
petunjuk agama mengenai cara-cara mengatasi penyakitnya tersebut.
Secara fundamental berkenaan dengan metode untuk
menghilangkan akhlaq yang buruk al-Ghazali mengatakan: "Penyembuhan tiap
penyakit jiwa ialah dengan memotong substansinya dan menghilangkan penyebabnya.
Semua itu harus dihilangkan dengan bantuan lawan-lawannnya".(M. Abul
Quasem, 1988: 97).
Keburukan jiwa dapat dipulihkan secara permanen jika
substansinya dihancurkan, yaitu dengan menghilangkan penyebab-penyebab
keburukan tersebut.
4. Tiga Unsur untuk Melawan Akhlaq yang Buruk
Penyebab sifat-sifat buruk itu, menurut al-Ghazali, harus
dilawan dengan ilmu dan amal. Al-Ghazali mengatakan bahwa semua akhlaq yang
buruk dapat disembuhkan dengan ilmu dan amal. Penyembuhan setiap penyakit jiwa
ialah dengan melawan penyebanya. Jika kita harus meneliti penyebabnya dengan
seksama. (M. Abul Quasem, 1988: 98).
Unsur pengetahuan atau ilmu ini sangat komprehensif. Ilmu
berfungsi untuk meneliti dengan seksama sifat dari tabiat buruk, penyebabnya
dan akibat yang merugikannya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Pengetahuan tentang kerugian yang ditimbulkan oleh keburukan jiwa ini harus
diidentifikasi secara pasti, sehingga akan melahirkan kebencian yang kuat
terhadap sifat buruk tersebut. Melawan penyebab keburukan dengan pengetahuan
ini disebut oleh al-Ghazali sebagai obat kognitif ('ilaj 'ilmi). (M.
Abul Quasem, 1988: 92). Pengetahuan ini juga punya efek menimbulkan keinginan
untuk melawan penyebab tersebut dengan langkah-langkah amal. Jadi unsur
pengetahuan secara logis mendahului amal. Beramal dengan tekun harus dilakukan
untuk membuang pengaruh sifat-sifat buruk, sehingga akibat amal tersebut akan
mengimbangi penyebab-penyebab sifat-sifat buruk tersebut. Amalan ini juga harus
berlawanan dengan perbuatan yang timbul dari sifat-sifat yang buruk itu.
Prinsip antidote (penangkal) yang menjadi lawannya ini berfungsi sebagai
counterbalance yang akan dapat memperbaiki keseimbangan. (Majid Fakhry,
1995: 132). Penghapusan sifat-sifat buruk dengan bantuan amal ini dinamakan
oleh al-Ghazali sebagai obat praktis ('ilaj 'amali) (M. Abul Quasem,
1988: 98).
Karena amal yang dilakukan bertentangan dengan kehendak nafsu
seseorang, maka diperlukan kesabaran (shabr) yang tinggi. Tanpa
kesabaran tidak mungkin akan dapat menyembuhkan sifat-sifat buruk tersebut.
Karena alasan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa obat bagi suatu perangai akhlaq
yang buruk adalah kombinasi tiga unsur (arkan), yaitu ilmu, amal, dan
sabar. (M. Abul Quasem, 1988: 99).
Penghapusan akhlaq atau pekerti yang buruk dengan metode oposisi dan teknik-tekniknya, jelas harus dilakukan dengan upaya yang sadar. Namun demikian, ada suatu unsur supernatural, yakni taufik illahi terlihat di sini. Unsur ini uga berperan dalam dalam mendapatkan akhlaq yang baik dengan membiasakan diri dan pergaulan, yang dilaksanakan dengan usaha kita. Pengamatan al-Ghazali terhadap perlunya bantuan Ilahi dan latihan moral sesuai dengan ajaran agama Islam. (M. Abul Quasem, 1988: 102).
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan
tulisan di atas diketahui bahwa antara akhlak, etika, dan moral memiliki
kesamaan arti, cakupan, dan tujuan. Namun demikian juga memiliki perbedaan satu
sama lainnya. Dalam perspektif Islam akhlak dan tasawuf sangat berkaitan erat
karena sama-sama bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akhlak
adalah salah satu dimensi keilmuan yang perlu digunakan dalam berbagai lini dan
profesi kehidupan untuk meningkatkan kualitas ilmu, iman dan amal.
Keberadaannya bahkan dianggap mampu menentukan maju atau mundurnya suatu
negara, agama, dan bangsa. Oleh karena itu, bahasan tentang akhlak adalah
sesuatu yang dipentingkan. Tulisan di atas dapat disimpulkan dengan empat hal
berikut, di antaranya:
a.
Akhlak, etika dan moral
adalah suatu disiplin ilmu yang membicarakan tentang persoalan baik dan buruk;
b.
Antara akhlak, etika dan
moral, memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama mengkaji
masalah baik dan buruk, sedangkan perbedaanya adalah terletak pada landasan
yang dipakai;
c.
Dalam konteks sejarah,
antara akhlak dan tasawuf memiliki tujuan dan esensi yang sama, yaitu sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah;
d.
Indikator orang
berakhlak adalah beriman atau tidaknya seseorang. Salah satu karakter seseorang
dikatakan beriman adalah ketika ia mampu melahirkan kedamaian dan ketenteraman
bagi alam lingkungannya.
B. Saran
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Nul Karim
Mudjiono, Ricky. 2008. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Tanggerang:
Scientific Press.
Sudrajat,
Ajat. Jurnal Pendidikan Moral dalam Perspektif Islam. Yogyakarta
Sudrajat,
Ajat. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Moral dalam Pemikiran Al-Gazali.
Yogyakarta
Yusuf, Yuan. 2015. Teen Handbook. Surakarta: al-Qudwah Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar